Nonton Film Sound of Freedom garapan Alejandro Monteverde bikin saya kaget. Film yang rilis tahun 2023 ini bukan sekadar tontonan hiburan, tapi lebih ke tamparan. Ia menguliti sisi gelap perdagangan manusia yang sering kita pikir jauh dari kehidupan sehari-hari. Karakter utamanya, Tim Ballard, seorang agen federal US yang rela mengorbankan karier demi menyelamatkan anak-anak dari sindikat perdagangan seksual.
Yang paling bikin merinding justru kisah Rocio. Bocah kecil yang sangat berbakat dijanjikan akan diberi pelatihan, diorbitkan jadi artis, dan cepat kaya. Janji manis itu bikin keluarganya percaya. Padahal, semua cuma tipu daya. Nyatanya Rocio tidak pernah masuk sekolah akting, tidak pernah dipertemukan dengan produser, dan jelas tidak pernah jadi artis. Ia justru dijebak masuk lingkaran perbudakan modern.
Ketika saya menonton itu, saya sempat menghela napas panjang. Dalam hati berpikir: “Syukurlah cuma film.” Tapi perasaan itu langsung hilang begitu membaca berita tentang seorang pemuda bernama Azwar, warga Asahan, Sumatera Utara.
Azwar (32) awalnya dijanjikan pekerjaan menyanyi di Malaysia. Modusnya persis seperti cerita di film. Ada iming-iming dan bujuk rayu. Tapi ujungnya sama. Alih-alih jadi penyanyi, Azwar justru dikirim ke Kamboja dan dipaksa bekerja sebagai AJO.
Keluarganya menceritakan, Azwar kerap dipukuli kalau target tidak tercapai. Ia bahkan sempat meminta tolong agar bisa pulang, tapi dengan syarat harus membayar “denda” 40 juta. Itu bukan tebusan resmi, melainkan cara sindikat menguras keluarga korban. Keluarga hanya mampu mengirim 15 juta. Lima menit setelah uang itu ditransfer, nomor telepon perekrut langsung mati.
Dan kabar berikutnya yang datang justru paling memilukan. Azwar sudah meninggal dunia. Kata mereka ia melompat dari lantai tiga sebuah gedung. Tidak ada yang bisa memastikan kronologi jelasnya, kecuali para pelaku yang entah sudah ditangkap atau belum.
Bayangkan betapa hancurnya keluarga Azwar. Dari harapan bisa bekerja, menghasilkan uang, malah pulang dalam peti. Kisah Rocio di film berakhir dengan penyelamatan. Kisah Azwar di dunia nyata berakhir dengan kematian.
Dan inilah yang bikin saya geram. Pemerintah kita, dari pusat sampai daerah, sering kali bilang “komitmen penuh” memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ada satgas, ada rapat koordinasi, ada banner besar-besar dengan slogan perlindungan WNI. Tapi kalau kita mau jujur, semua itu banyak yang cuma basa-basi.
Kalau benar serius, kenapa masih ada ribuan WNI jadi korban sindikat di luar negeri? Kalau benar serius, kenapa perekrut-perekrut bodong masih bisa bebas wara-wiri di kampung, menjanjikan pekerjaan dengan brosur palsu dan akun medsos murahan? Kalau benar serius, kenapa keluarga korban seperti Azwar harus pontang-panting untuk menebusnya dari tangan mafia asing?
Pemerintah mestinya lebih ketat soal penempatan tenaga kerja. Jangan biarkan calo-calo liar seenaknya merekrut angkatan kerja. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia seharusnya punya mata dan telinga di lapangan, bukan sekadar konferensi pers. Kemenlu dan KBRI jangan cuma muncul ketika ada korban meninggal. Kenapa sih di kasus seperti ini negara kerap datang terlambat?
Lalu bagaimana dengan pemerintah daerah? Apakah aparat desa, camat, dan bupati benar-benar tidak tahu ada warganya yang direkrut? Atau mereka tahu, tapi pura-pura tidak tahu? Apa mungkin perekrut bekerja sendirian tanpa jaringan lokal?
Kasus Azwar ini jelas bukan yang pertama. Bahkan ada laporan puluhan WNI jadi korban disiksa dengan setrum. Tapi pola yang sama terus terulang. Korban direkrut dengan janji manis, dijual ke luar negeri, dan negara hanya bereaksi setelah korban teriak atau mati.
Film Sound of Freedom layak jadi trending karena berani mengangkat sisi gelap yang jarang menyentuh pecinta film. Tapi buat kita di Indonesia, film itu terasa sangat dekat dengan realitas. Rocio hanyalah karakter fiksi, tapi Azwar adalah fakta. Rocio diselamatkan, Azwar dikuburkan.
Saya jadi mikir, kita sering bilang bangsa ini punya “bonus demografi”, tapi faktanya anak muda kita malah banyak yang dijadikan komoditas di pasar gelap perdagangan manusia. Film Sound of Freedom menggambarkan anak-anak yang dijual sebagai budak seks.
Sementara di kasus Azwar, orang dewasa pun bisa jadi budak. Entah di pabrik scam, entah di jaringan judi online. Sama-sama kehilangan hak dasar sebagai manusia.
Kalau pemerintah tidak segera membenahi perlindungan PMI dan WNI di luar negeri, tidak menutup ruang bagi perekrut liar, dan tidak memperkuat peran KBRI di negara rawan, maka jangan kaget kalau kisah-kisah seperti Azwar akan terus berulang. Bedanya hanya nama dan lokasi, tapi polanya tetap sama. Rakyat kecil jadi korban, sementara para pejabat sibuk berfoto dengan jargon “perlindungan WNI”.
Pada akhirnya, yang menyedihkan adalah kita harus belajar soal kemanusiaan dari film, bukan dari negara. Dan barangkali, itulah tamparan paling keras dari Sound of Freedom.

Posting Komentar