Belakangan ini, kita kembali diguncang oleh kasus tragis. Seorang dokter residen di rumah sakit besar di Bandung membius keluarga pasien, lalu memperkosanya. Ini bukan cerita fiksi gelap atau adegan film thriller murahan. Ini nyata. Di ruang steril yang seharusnya melindungi, justru terjadi pelanggaran paling kotor terhadap kemanusiaan.
Dan ini bukan yang pertama. Kita bisa mundur ke Palembang, Surabaya, Tangerang, hingga Papua Barat. Modusnya hampir serupa. Kepercayaan yang dimanfaatkan, ilusi keamanan yang disalahgunakan, dan tubuh yang menjadi korban ketika kesadarannya dilumpuhkan, baik oleh suntikan anestesi, janji pemulihan, atau topeng profesionalisme.
Tapi makin lama aku mulai sadar, kasus-kasus ini bukan hanya tentang individu yang menyimpang. Ia seperti metafora yang lebih besar. Tentang bagaimana sistem memperlakukan rakyatnya.
Rakyat sering kali seperti pasien yang tak tahu menahu. Disuruh diam, disuruh percaya, lalu diberi suntikan janji manis. Akan sembuh, akan makmur, akan maju. Pemerintah, seperti dokter dalam jubah putih, bicara dengan penuh keyakinan tentang program bantuan, subsidi, penghapusan kemiskinan, bahkan revolusi entah berantah. Kita pun diam dan percaya, karena kita tidak punya alat untuk membantah.
Tapi banyak dari kita perlahan sadar, setelah semua obat bius janji itu menguap, kita diperas, kita dirampas. Hutan ditebang, tanah dihadiahkan ke korporat, sumber daya dikuras. Tapi rakyat tetap hidup dalam rumah yang bocor dan jalan berlubang. Seperti pasien yang bangun dari bius dengan tubuh tercabik, rakyat pun bangun dari mimpi pembangunan dengan dompet yang makin tipis dan harga sembako yang makin tinggi.
Aku bukan sedang menyamakan langsung pejabat dengan pelaku kriminal. Tapi pola mainnya hampir mirip. Sama-sama mengandalkan kepercayaan untuk mendapatkan akses menyalahgunakan kekuasaan. Sama-sama mengunci korban dalam posisi tak berdaya. Sama-sama beroperasi dalam ruang steril nan dingin, entah itu ruang operasi atau ruang konferensi.
Dan lucunya, kalau pelaku pemerkosaan bisa ditangkap dan diseret ke meja hijau, pelaku kebijakan publik yang keliru justru dilindungi dengan baju dinas, rapat tertutup, dan program evaluasi. Korban dari kekeliruan mereka? Ya rakyat juga. Tapi tak ada permintaan maaf. Tak ada proses hukum. Yang ada justru program baru dengan nama lebih keren.
Aku kadang bertanya, sampai kapan kita mau dibius oleh jargon-jargon yang berkilau itu? Sampai kapan kita mau percaya tanpa bertanya, diam tanpa protes, ketika hidup kita terus menerus dipreteli demi angka-angka dalam laporan tahunan?
Tapi sekarang kita harus sadar. Rakyat tidak bisa terus menerus dianggap pasien bodoh yang tinggal ditidurkan lalu dipotong perlahan. Kedaulatan bukan milik negara, tapi milik rakyat yang tidak ingin lagi jadi korban diam dalam ruang operasi besar bernama pembangunan.
Sudah waktunya kita terjaga. Tidak hanya karena sakit, tapi karena kita tahu tubuh ini milik kita. Masa depan ini milik kita. Dan tidak akan ada satu pun yang boleh mengambilnya lagi dengan janji palsu dan senyum manis yang penuh obat bius.
Pemerkosaan tidak selalu soal tubuh. Kadang ia hadir dalam bentuk kebijakan. Berpakaian rapi, berbicara santun, tapi menyisakan luka di akar rumput: kehidupan rakyat banyak.
Posting Komentar