Gagasan untuk memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi tentu menarik untuk dibahas. Ada anggapan bahwa langkah ini bisa menekan biaya pendidikan dan membuka akses yang lebih luas bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Jika dikelola dengan baik, hasil tambang bisa menjadi sumber dana yang menopang kampus tanpa harus membebankan mahasiswa dengan biaya pendidikan yang semakin mahal.
Tapi benarkah solusi ini akan bekerja sesuai harapan? Atau justru berakhir seperti program bantuan pendidikan yang sering tidak tepat sasaran? Bidikmisi, KIP-Kuliah, dan berbagai bentuk beasiswa lainnya seharusnya membuka pintu bagi mereka yang tidak mampu. Sayangnya, praktik di lapangan sering kali berbicara lain. Ada mahasiswa yang sebenarnya berasal dari keluarga cukup mampu tapi tetap bisa mendapatkan beasiswa. Di sisi lain, anak buruh tani atau pekerja serabutan tetap kesulitan mengakses pendidikan tinggi meski memiliki kemampuan akademik yang baik.
Tidak bisa dimungkiri bahwa sistem pendidikan tinggi kita masih memiliki banyak celah. Transparansi dan moralitas dalam pengelolaan dana sering kali menjadi persoalan utama. Jika bantuan pendidikan yang sudah ada saja masih banyak yang meleset dari tujuan, bagaimana dengan pengelolaan tambang oleh kampus?
Kampus dan Mentalitas Pengelola yang Bermasalah
Salah satu persoalan utama pendidikan tinggi di Indonesia bukan hanya soal biaya, tapi juga cara kampus dikelola. Banyak perguruan tinggi lebih sibuk mengejar peringkat dan gelar institusional ketimbang benar-benar memastikan kualitas lulusan mereka siap menghadapi dunia kerja.
Tidak jarang kita melihat kampus menggelontorkan dana besar demi sekadar mendapatkan akreditasi unggul atau masuk dalam daftar universitas terbaik versi lembaga tertentu. Ironisnya, anggaran yang dikeluarkan untuk hal-hal seperti ini sering kali lebih besar daripada dana yang dialokasikan untuk meningkatkan kualitas pengajaran atau kesejahteraan mahasiswa.
Akibatnya, banyak sarjana yang keluar dari kampus dengan keterampilan yang minim. Masih segar dalam ingatan bagaimana seorang lulusan perguruan tinggi teknologi justru kebingungan saat diminta mencetak dokumen sederhana. Sementara di sisi lain, anak-anak yang bahkan tidak mengenyam pendidikan tinggi justru mampu mengutak-atik sistem hingga menembus jaringan keamanan digital.
Jika kampus diberikan izin mengelola tambang, siapa yang bisa menjamin hasilnya benar-benar digunakan untuk kepentingan mahasiswa? Bukankah bisa saja dana yang dihasilkan justru lebih banyak masuk ke kantong-kantong segelintir orang, seperti yang sering terjadi dalam banyak proyek pendidikan lainnya?
Pendidikan yang Seharusnya Berorientasi pada Manusia
Pada akhirnya, persoalan utama dalam dunia pendidikan bukan hanya tentang biaya, tapi juga tentang bagaimana kampus menjalankan perannya. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak ijazah, tetapi juga membentuk manusia yang benar-benar siap berkontribusi bagi masyarakat.
Bukan hal yang mustahil bagi kampus untuk mengelola sumber daya seperti tambang dan menggunakannya demi kepentingan pendidikan. Tapi tanpa transparansi dan pengawasan yang ketat, kebijakan seperti ini justru bisa menjadi celah baru bagi penyalahgunaan wewenang.
Jika perguruan tinggi benar-benar ingin membantu mahasiswa, fokus utama seharusnya bukan hanya mencari sumber pendanaan tambahan. Ada banyak hal lain yang perlu dibenahi, mulai dari sistem rekrutmen beasiswa yang lebih adil, peningkatan kualitas pengajaran, hingga memastikan bahwa lulusan benar-benar memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Tidak ada gunanya memiliki sumber dana besar jika kampus masih sibuk mengurus peringkat dan gelar sementara mahasiswanya justru kesulitan membangun masa depan.
Posting Komentar