Ini adalah foto yang sudah saya edit setengah mati. Pencahayaan, kontras, dan warnanya sudah tak lagi sama dengan aslinya. Tapi aslinya juga tak kalah rusak kualitas gambarnya. Maklum, namanya juga hp kentang.
Sedikit bercerita menyangkut foto yang saya lupa dijepret tahun berapa ini. Ya, sejak lama saya memang tertarik pada soalan-soalan yang mengait buruh dan perburuhan. Foto ini sendiri mungkin dicekrek sesaat sebelum aksi demonstrasi dilakukan. Mengangkat isu tenaga kerja asing yang jor-joran masuk ke Indonesia di tengah angka lapangan kerja yang justru minim.
Beralih ke masa kini. Aneh ya. Sekarang ini teman-teman buruh khususnya perempuan kok rasanya mereka asing mendengar istilah cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti keguguran. Padahal ketiga istilah itu merupakan hak dasar buruh perempuan dalam hubungan kerja. Entah itu sebagai pegawai, karyawan, buruh pabrik, kasir, pelayan, sekretaris, administrasi, pekerja rumah tangga, dan sebagainya. Bahkan juga ASN, honorer, Polisi, Tentara, Satpol PP, dan sebagainya. Berseragam tidak membuat perempuan berubah anatomi biologisnya jadi laki-laki kan?
Balik ke teman-teman buruh perempuan. Malahan mereka seperti menganggap cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti keguguran tidak mungkin diberlakukan. Padahal ketiganya itu sudah lama ada dan dilindungi hukum. Normanya ada dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Barangkali keterasingan itu karena adanya hukum baru yang dirancang sejak 2019 lalu bernama Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam hukum baru ini, cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti keguguran tidak lagi disebutkan sebagai pokok perlindungan hak kaum perempuan sebagai buruh.
Dari laman resmi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dikatakan, dalam Omnibus Law Cipta Kerja tidak diatur waktu istirahat atau cuti haid dan melahirkan bagi pekerja wanita. Penghapusan hak-hak ini dinilai mengancam kesejahteraan pekerja wanita, katanya.
Kadang-kadang aku merenung sebegitu minimkah angka perempuan Indonesia yang memahami hak-hak dasarnya sebagai perempuan, sehingga minim pula semangatnya mempertahankan dan merebut hak yang seharusnya didapatkan?
Memang, saya merasa regulasi dan aturan hukum ketenagakerjaan sudah babak belur kewarasannya dipentung Omnibus Law Cipta Kerja yang tak waras ini. Sebab itu pula, sebagai orang yang sejak lama tertarik pada soalan-soalan yang mengait buruh dan perburuhan, saya katakan saya akan tetap setia pada upaya-upaya perjuangan demi dihapusnya hukum baru yang sangat menyengsarakan ini.
Bangkitlah kaum buruh perempuan. Bangkitlah buruh segalanya.
Posting Komentar