Pemerintahan yang baik bukan hanya soal angka-angka anggaran atau proyek pembangunan yang dipamerkan dalam laporan tahunan. Lebih dari itu, ia adalah soal bagaimana para pejabatnya bersikap, bagaimana mereka berbicara, dan bagaimana mereka memperlakukan masyarakat. Menjadi pejabat beradab.
Tapi di Asahan, adab tampaknya bukan hal wajib bagi mereka yang duduk di kursi pemerintahan. Dari plang imbauan yang lebih mirip penghinaan, makian kasar dari seorang ASN, hingga kepala desa yang merasa lebih manusia dari sipil lainnya. Semua ini membentuk satu potret buram tentang bagaimana sebagian pejabat telah gagal menjalankan tugas paling mendasar mereka yaitu menjadi manusia yang beradab.
Mari kita mulai dengan sebuah plang. Sebuah pesan moral dari Dinas Lingkungan Hidup. "Dilarang membuang sampah di sini, kecuali monyet." Begitu tulisannya. Monyet? Barangkali jadi sebuah kata yang cukup kuat untuk mewakili perasaan pejabat terhadap masyarakat.
Seolah-olah masyarakat sudah naik tingkat dalam klasifikasi zoologi yang layak ditempatkan di kebun binatang. Yang lebih ironis, plang itu akhirnya hilang. Permintaan maaf dari pihak terkait tak pernah terdengar. Mungkin bagi mereka, ini bukan kesalahan. Atau bisa jadi, ini cerminan jujur dari cara mereka memandang masyarakat.
Lalu kita beralih ke kantor Dinas Perumahan dan Pemukiman. Mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa, menyuarakan dugaan penyalahgunaan anggaran Rusunawa tahun 2023. Tapi alih-alih mendapat penjelasan, mereka malah disambut dengan makian.
Seorang ASN di dinas tersebut merespons kritik dengan umpatan "Anjing!". Barangkali, dalam benak si ASN, ASN bukan singkatan dari Aparatur Sipil Negara, tetapi lebih mendekati "Aku Suka Nganjingin."
Kasus ini tidak berlalu begitu saja. Bupati Asahan, Taufik Zainal Abidin Siregar terpaksa turun tangan. Kabarnya beliau telah meminta maaf atas insiden tersebut, sebuah gestur yang setidaknya menunjukkan bahwa ada kepedulian dari penanggung jawab tertinggi dan ketauladanan kepemimpinan. Meskipun entah apakah akan diikuti dengan tindakan tegas terhadap yang bersangkutan atau tidak. Kuharap semoga saja iya.
Tapi tetap saja, pertanyaannya menggantung: mengapa seorang ASN bisa kehilangan kendali dan berbicara seperti itu di hadapan sipil yang sedang menggunakan hak demokrasinya? Apakah terlalu nyaman dalam jabatan sehingga merasa tidak perlu menjaga etika?
Lalu, kita bertemu dengan sosok kepala desa yang merasa paling manusia. Ketika masyarakat berbagi kritik terhadap pembangunan di Asahan melalui salah satu grup WhatsApp binaan Ketua Jii, sebuah diskusi yang biasa dilakukan di era digital. Namun mendapat respons cukup unik dari seorang kepala desa yang lebih unik. "Udala jam brapa lagi ganggu manusia istirahat," tulisnya.
Sekilas, ini hanya respons kasar yang menunjukkan ketidaksukaan terhadap kritik di waktu yang dianggap tidak tepat. Tapi lebih dari itu, kalimat ini juga seolah menegaskan bahwa ia menganggap dirinya satu-satunya manusia di dalam grup. Yang lain? Mungkin hanya sekumpulan makhluk pengganggu, benda najis, atau sekumpulan binatang seperti monyet dan anjing yang menggonggong tepat di telinganya yang unik itu.
Anggapan inilah yang melatarbelakangi Bang Wong jadi ingin kenal dekat si sosok kepala desa, tapi nampaknya hingga tulisan sampai di paragraf ini, si sosok kepala desa manusia unik itu terus pergi berlalu. Seolah merasa pantang berkenalan dengan sipil biasa.
Jika kita tarik garis lurus dari tiga peristiwa ini, ada satu pola yang tampak jelas yaitu hilangnya adab dalam ruang-ruang pemerintahan. Seolah-olah jabatan memberi hak istimewa untuk merendahkan, untuk berbicara seenaknya, untuk memperlakukan masyarakat tidak sebagai manusia setara, tetapi sebagai bawahan yang harus tahu tempatnya.
Lalu, pertanyaannya adalah di mana letak kepatutan? Apakah seorang pejabat boleh berbicara semaunya hanya karena merasa lebih berkuasa? Apakah ASN punya hak istimewa untuk mencaci sipil yang menuntut transparansi? Apakah kepala desa boleh menentukan kapan masyarakat boleh bicara dan kapan mereka harus diam?
Sebuah ironi ketika pemerintah terus menyerukan reformasi birokrasi, tetapi justru perilaku dan mentalitas feodal tumbuh subur di dalamnya. Jika masyarakat yang membuang sampah di sembarang tempat dianggap seperti monyet, lalu bagaimana dengan pejabat yang kehilangan adab dan seenaknya berbicara kasar?
Jika mahasiswa yang bersuara dianggap anjing, lalu bagaimana dengan mereka yang menggonggong tanpa etika saat merasa terusik oleh merdunya suara kebenaran? Dan jika kepala desa bisa sesuka hati menentukan siapa yang layak disebut manusia, mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah para pejabat kita sudah belajar menjadi manusia yang lebih baik?
Adab bukan soal jabatan. Ia tidak otomatis datang bersama SK pengangkatan atau seragam yang dikenakan. Ia adalah soal karakter, soal cara memperlakukan sesama, soal kemampuan mendengar kritik tanpa merasa kuasa itu bisa menginjak siapa saja. Dan sayangnya, adab inilah yang tampaknya mulai hilang di banyak ruang pemerintahan kita: Kabupaten Asahan.
Posting Komentar