Idulfitri sebentar lagi. Jalanan akan ramai iring-iringan kendaraan, rumah-rumah dipenuhi keluarga yang saling bersilaturahmi, dan suara takbir berkumandang menggetarkan hati. Ini adalah momen kebahagiaan, momen kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.
Sambil membayangkan gegap gempita lebaran, mari kita sejenak menoleh ke sekeliling, melihat apa yang telah berubah atau lebih tepatnya, apa yang tetap sama di Asahan. Kita masih punya alam yang luar biasa indah.
Air terjun yang gemuruhnya mampu meredam penat, sungai dengan arus menantang yang seharusnya bisa menjadi magnet wisata, serta bukit dan hutan yang menyimpan ketenangan bagi siapa saja yang mencarinya.
Asahan bukanlah daerah yang miskin potensi. Ia memiliki segalanya untuk menjadi destinasi wisata yang menarik. Tetapi sayangnya, potensi ini seolah dibiarkan terbengkalai.
Asahan bukanlah tanah tandus yang miskin pesona. Alamnya berbicara dalam bahasa keindahan, kebunnya menyimpan cerita panjang tentang kejayaan perkebunan yang pernah menjadi tulang punggung ekonomi negara besar di Eropa.
Sayangnya sekali lagi, semua itu lebih sering menjadi cerita yang hanya diketahui segelintir orang. Seolah-olah Asahan adalah surga tersembunyi yang tidak benar-benar dicari.
Pariwisata seharusnya bukan sekadar sektor pelengkap, bukan hanya catatan kaki dalam agenda pembangunan daerah. Jika dikelola dengan serius, ia bisa menjadi mesin penggerak ekonomi yang luar biasa.
Potensi sudah ada, objek pariwisata ada dimana-mana, butuh berjam-jam untuk menyebutnya satu persatu. Tetapi sayangnya, akses menuju lokasi-lokasi itu masih seperti teka-teki yang harus dipecahkan sendiri oleh para pelancong. Entah jalan yang tak kunjung diperbaiki, fasilitas yang seadanya, atau promosi yang nyaris tak terdengar.
Di tengah kelambanan menggarap sektor pariwisata, memang Pemkab Asahan telah menunjukkan keseriusannya dalam membangun wajah baru di sektor pariwisata. Masjid Agung Achmad Bakrie berdiri megah, menjadi kebanggaan baru yang tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga destinasi wisata spiritual.
Di sisi lain, Alun-alun Taman Hutan Kota menjadi ruang terbuka hijau yang memberikan tempat rekreasi bagi keluarga. Mulai sepuluh tahun lalu, dua proyek ini menelan anggaran mungkin nyaris 100 miliar, sebuah angka yang fantastis tetapi setidaknya memberikan hasil yang terlihat dan barangkali bisa dinikmati masyarakat. Terlebih dengan tambahan ikon menara berbiaya mungkin hampir 62 miliar telah mulai dibangun sejak dua tahun belakangan.
Walaupun belum diresmikan karena belum selesai, beberapa orang optimis ikon menara ini kelak menjadi dongkrak perekonomian pariwisata, setidaknya dianggap mampu mempertahankan jumlah kunjungan pengguna jalan mampir ke Asahan.
Ironisnya, tidak semua proyek berakhir dengan kisah yang sama. Di sudut lain berdiri bangunan yang nasibnya agak tragis. Gelanggang Olahraga yang dibangun dengan biaya mungkin 10,3 miliar. GOR yang seharusnya menjadi pusat aktivitas olahraga dan kebanggaan daerah, nyaris menjadi monumen kehampaan lantaran sempat mangkrak bertahun-tahun.
Sejak tahun lalu, agaknya pembangunan GOR dilanjutkan dengan tambahan anggaran mungkin 8,29 miliar. Ini menjadi sebuah pengingat bahwa di negeri ini, penggunaan anggaran bisa jadi ugal-ugalan, bisa begitu lincah berlari kesana kemari, sementara visi kampanye tertinggal jauh di belakang.
Jika uang sebanyak itu bisa digunakan untuk membangun sesuatu yang pada akhirnya hanya menjadi proyek yang entah bermanfaat entah tidak, maka pertanyaannya adalah mengapa sektor pariwisata yang jelas-jelas bisa memberikan keuntungan jangka panjang justru seolah dibiarkan terbengkalai?
Padahal dengan anggaran yang sama, infrastruktur menuju destinasi wisata bisa perlahan diperbaiki, fasilitas bisa pelan-pelan diperbarui, dan promosi bisa digalakkan. Tetapi sepertinya, kebijakan pembangunan lebih sering mengikuti arah angin politik dan gengsi daripada mengikuti kebutuhan riil masyarakat pemilih.
Jika pariwisata adalah surga, tempat di mana keindahan alam dan sejarah bisa menghidupi daerah, maka proyek mangkrak bernilai miliaran rupiah barangkali adalah neraka. Neraka yang tak berapi, tapi membakar anggaran tanpa jejak. Neraka yang tak berjeruji, tapi mengurung potensi dalam kebisuan beton-beton tak berfungsi.
Setiap tahun ada saja yang menyusul, menambah deretan jejak pembangunan infrastruktur gagah perkasa yang seharusnya menjadi kebanggaan. Sementara di sudut lain, pariwisata menunggu disentuh, dihidupkan, diberi kesempatan untuk tumbuh.
Pariwisata bukan hanya soal estetika atau kebanggaan daerah. Ini adalah peluang ekonomi yang jika dimanfaatkan dengan benar, bisa membawa kesejahteraan bagi banyak orang. Setiap wisatawan yang datang adalah potensi pendapatan, setiap destinasi yang dikembangkan adalah investasi jangka panjang.
Sayangnya, bagi beberapa orang, lebih mudah membangun proyek besar yang bisa mendatangkan keuntungan, daripada mengembangkan sesuatu yang membutuhkan perencanaan matang dan kerja berkelanjutan.
Lebaran adalah waktu untuk bersyukur, untuk merayakan kebersamaan. Tapi lebaran juga bisa menjadi waktu untuk merenung, untuk bertanya apakah daerah ini sedang bergerak ke arah yang benar, atau justru berjalan di tempat bahkan mundur? Berapa banyak lagi proyek yang akan ditambah dalam daftar panjang penggunaan anggaran? Berapa lama lagi kita membiarkan surga pariwisata ini tetap tersembunyi?
Selamat berlebaran, Asahan. Semoga di hari yang fitri, ada niat yang diperbarui, ada kesadaran yang tumbuh, bahwa membangun bukan sekadar soal menghabiskan anggaran, tetapi soal memastikan manfaatnya dirasakan oleh masyarakat.
Semoga tahun-tahun ke depan, kita tidak terjebak dalam siklus proyek unfaedah, tetapi mulai serius mengembangkan potensi yang kita miliki. Karena keberkahan bukan hanya soal doa, tetapi juga soal bagaimana kita mengelola apa yang telah diberikan kepada kita.
Sementara itu, Asahan tetap menunggu. Menunggu saat di mana potensi yang dimilikinya benar-benar digarap dengan keseriusan yang layak.
Posting Komentar