Senin, 17 Maret 2025

Pandu Brata Telah Pergi, Apakah Tri Brata Masih Setia Bersama Kita di Sini?

Pandu Brata Telah Pergi, Apakah Tri Brata Masih Setia Bersama Kita di Sini
Gambar: mistar.id

Pandu Brata Siregar telah pergi. Remaja 18 tahun itu kini beristirahat dalam sunyi, jauh dari suara tembakan peringatan dan tendangan yang merobohkan tubuhnya. Tapi ironisnya, namanya justru kini menggema di seantero Asahan, lebih nyaring daripada janji-janji pengayoman yang dulu diucapkan dengan gagah berani.

Pandu. Nama yang berarti pemimpin, penunjuk jalan, pembimbing. Nama yang membawa beban besar, tetapi siapa sangka ia harus memandu orang-orang bukan melalui petuah dan nasihat, melainkan dengan tubuh lebam dan nyawa yang melayang? Mungkin kini Pandu tengah menuntun manusia-manusia di Asahan menuju satu hal yang sejak lama hilang arah: keadilan.

Tapi keadilan di Asahan, seperti banyak hal lainnya, seringkali lebih mirip mitos daripada kenyataan. Ada banyak teori tentang ke mana perginya keadilan. Apakah ia ditendang hingga tersungkur seperti Pandu? Apakah ia tertabrak oleh kekuasaan yang melaju tanpa rem? Atau apakah ia sekadar diperiksa dua kali seperti tes urine, di mana hasil pertama tak masalah, tapi hasil kedua entah mengapa mulai kabur?

Di satu sisi, ada janji yang seharusnya tegak berdiri: Tri Brata. Sebuah sumpah yang mengaku berpihak pada kebenaran, keadilan, dan pengabdian. Tapi setelah Pandu tergeletak di tanah, setelah ia meminta ampun dan hanya mendapat tendangan, kita harus bertanya: Apakah Tri Brata masih setia bersama kita di sini?

Sementara itu, ada yang lebih layak kita pertanyakan. Di dalam sistem yang katanya berlandaskan Tri Brata, janji suci untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan pengabdian, mengapa justru Pandu Brata yang kini harus memandu kita? Apakah Tri Brata masih berlaku di tanah ini, ataukah hanya sekadar teks suci yang dikidungkan dalam apel pagi, yang dilupakan saat matahari mulai menyengat, lalu menghilang di tengah kegelapan malam pabrik kelapa sawit?

Mari kita mundur sedikit ke malam ketika semuanya dimulai. Hanya sekadar anak-anak muda yang berkumpul, bersenang-senang, mungkin sedikit berisik, tapi bukankah itu hak mereka? Kemudian datang orang-orang berseragam, mengusir dengan senjata, mengejar dengan sepeda motor, dan akhirnya, menendang dengan kaki. Entah ilmuwan mana yang pertama kali menemukan teori bahwa kaki lebih efektif daripada akal sehat dalam menyelesaikan sebuah perkara.

Pandu jatuh. Pandu tertabrak. Pandu meminta ampun. Tapi tidak ada pengampunan malam itu. Yang ada hanyalah perjalanan yang lebih panjang: dari tanah ke jalanan, ke puskesmas, ke kantor polisi, ke kosan, ke rumah sakit, dan akhirnya ke liang kubur.

Orang-orang berbicara tentang ekshumasi dan pra rekonstruksi, tentang penyelidikan yang transparan. Tapi mari kita tanya satu hal sederhana: Jika keadilan memang ingin ditegakkan, mengapa ia selalu datang terlambat? Mengapa harus ada tekanan no viral no justice lebih dulu lalu mereka itu baru mulai berbicara tentang keadilan hukum?

Kini, Pandu telah tiada. Tapi pertanyaannya masih bergema: apakah Pandu Brata telah berhasil memandu kita ke arah yang benar, ataukah ia sekadar menjadi pengingat bahwa dalam sistem ini, nyawa seseorang bisa begitu murah?

Sementara kita semua mencari jawaban, mungkin di suatu tempat yang lebih tinggi dari kita, Pandu sedang tertawa pahit. Sebab ia yang bernama "Pandu" kini justru lebih berperan dalam membimbing keadilan dibanding mereka yang bersumpah setia pada Tri Brata.

Hukum, jika masih punya wajah yang bisa dikenali, seharusnya berdiri tegak tanpa ragu. Ia bukan sekadar sederet pasal yang dihafal untuk ujian kenaikan pangkat. Hukum yang benar bukanlah pedang yang tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah.

Jika hukum hanya berani menindak pencuri sandal tetapi gemetar di hadapan seragam dan pangkat, maka kita tidak sedang bicara soal keadilan. Kita sedang bicara soal sandiwara.

Jika benar ada hukum yang masih layak dipercaya, maka tidak ada jalan lain: semua pelaku harus dihukum maksimal. Tidak ada kompromi, tidak ada negosiasi, tidak ada belas kasihan bagi mereka yang menendang hingga seorang remaja berakhir di liang lahat. Tanpa hukuman maksimal, apa yang akan terjadi? Besok akan ada Pandu-Pandu lain, nama-nama baru yang hanya akan dikenal setelah nyawa mereka melayang.

Jika tidak ada efek jera, maka malam-malam di Asahan dan kota-kota lain akan tetap dihantui oleh suara tembakan peringatan, oleh sepatu yang siap menendang, oleh kekuasaan yang melaju tanpa rem.

Efek jera bukan hanya untuk pelaku, tetapi juga untuk sistem yang membiarkan ini terjadi. Jangan biarkan ini menjadi sekadar "kesalahan prosedur," "insiden di lapangan," atau "kesalahpahaman" yang akan lenyap seiring berjalannya waktu. Hukum harus bicara dengan tegas, karena jika tidak, hukum itu sendiri akan kehilangan makna.

Sementara itu, kita bertanya lagi: Apakah Tri Brata masih setia bersama kita di sini? Jika ya, maka seharusnya hukum ditegakkan bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. Jika Tri Brata hanya tinggal tulisan di dinding-dinding kantor dan pidato upacara, maka jangan salahkan siapa pun jika kepercayaan masyarakat semakin menguap. Karena sekali hukum gagal menunjukkan keberaniannya, maka selamanya ia akan dipandang sebagai boneka yang hanya bergerak ketika ada tangan yang mengendalikannya.

Pandu telah pergi. Semoga ia tenang di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Kita tidak bisa mengembalikannya. Tapi kita bisa memastikan bahwa kepergiannya tidak sia-sia. Kita bisa memastikan bahwa tidak ada lagi pemuda lain yang harus memandu keadilan dengan darah dan nyawa mereka sendiri. Dan untuk itu, hukum harus bicara. Bukan dengan janji, bukan dengan basa-basi, tetapi dengan hukuman yang benar-benar mencerminkan keadilan.

Posting Komentar