Isu penyediaan bilik asmara di lembaga pemasyarakatan kembali mencuat setelah kaburnya puluhan narapidana dari Lapas IIB Kutacane, Aceh Tenggara. Selain persoalan kapasitas yang melebihi batas, desakan napi untuk mendapatkan ruang privat bersama pasangan sah juga menjadi sorotan. Ini bukan pertama kalinya wacana bilik asmara muncul, tetapi apakah ini benar-benar hak yang harus diberikan, atau justru membuka ruang bagi potensi penyalahgunaan?
Bilik Asmara, Kebutuhan atau Kemewahan?
Dalam konteks psikologi dan kesehatan mental, kebutuhan seksual diakui sebagai bagian dari kesejahteraan manusia. Banyak ahli menilai bahwa ketidakterpenuhan kebutuhan ini dapat berdampak negatif, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara emosional dan mental.
Ahli andrologi dan seksologi, Wimpie Pangkahila, melihat keberadaan bilik asmara sebagai sesuatu yang wajar, selama diperuntukkan bagi pasangan sah.
"Istri menengok, ada kesempatan untuk berdua, di kamar tanpa diganggu. Tapi kalau orang lain [selain pasangan sah] jangan," ujarnya seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Jika menilik praktik di berbagai negara, bilik asmara bukanlah hal baru. Beberapa negara telah menerapkannya dengan pertimbangan hak asasi manusia serta dampak psikologis dari tidak terpenuhinya kebutuhan seksual bagi narapidana. Negara-negara seperti Jerman, Spanyol, dan Brasil misalnya, telah memberikan hak kepada narapidana untuk bertemu pasangan mereka dalam suasana privat dengan tujuan menjaga stabilitas emosional mereka selama menjalani masa tahanan.
Namun, pertanyaannya adalah apakah konsep ini bisa diadaptasi dengan baik di Indonesia? Mengingat regulasi yang belum jelas dan sistem pemasyarakatan yang masih menghadapi berbagai permasalahan, apakah bilik asmara benar-benar solusi atau justru akan menambah daftar panjang persoalan di dalam lapas?
Dampak Psikologis dari Hasrat yang Tidak Tersalurkan
Bukan sekadar soal pemenuhan kebutuhan biologis, hubungan seksual juga memiliki dimensi emosional dan psikologis. Wimpie menjelaskan bahwa ketidakterpenuhan kebutuhan ini bisa berujung pada stres dan kecemasan.
"Orang yang melakukan masturbasi tentu tidak merasakan kepuasan seperti dengan pasangan yang diminati," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun manusia bisa bertahan tanpa hubungan seksual, ketidakterpenuhan kebutuhan ini dalam jangka panjang bisa menimbulkan efek psikologis yang cukup signifikan. Perasaan frustrasi, stres, dan ketidakpuasan bisa memengaruhi kondisi mental narapidana, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif pada perilaku mereka selama menjalani masa tahanan.
Dari sudut pandang ini, tampaknya masuk akal jika ada fasilitas yang dapat mengakomodasi kebutuhan psikoseksual narapidana. Namun, apakah bilik asmara adalah satu-satunya solusi? Atau ada pendekatan lain yang lebih tepat dalam menangani kesejahteraan psikologis warga binaan?
Antara Hak Narapidana dan Potensi Penyalahgunaan
Sebagai manusia, narapidana tetap memiliki hak, tetapi sejauh mana hak itu harus difasilitasi oleh negara? Ini menjadi dilema yang harus dipertimbangkan secara matang.
Di satu sisi, ada argumen bahwa bilik asmara bisa membantu pembinaan napi dengan menjaga stabilitas emosional mereka. Jika hubungan dengan pasangan sah tetap terjaga dengan baik, ada kemungkinan bahwa proses rehabilitasi narapidana bisa berjalan lebih efektif. Mereka memiliki dorongan psikologis untuk berubah menjadi lebih baik demi keluarga yang masih setia menunggu mereka di luar penjara.
Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa fasilitas ini bisa disalahgunakan. Bagaimana memastikan bahwa bilik asmara hanya digunakan oleh pasangan sah? Apakah akan ada mekanisme ketat untuk mencegah penyalahgunaan fasilitas ini untuk transaksi seksual ilegal atau tindakan melanggar hukum lainnya?
Saat ini, belum ada regulasi eksplisit yang mengatur bilik asmara di lapas Indonesia. Wacana ini terus berkembang, tetapi tanpa aturan jelas, pelaksanaannya bisa menimbulkan lebih banyak masalah daripada manfaat.
Perlu dipertimbangkan juga apakah anggaran negara seharusnya dialokasikan untuk membangun fasilitas semacam ini ketika masih banyak permasalahan mendasar dalam sistem pemasyarakatan, seperti overkapasitas lapas, kurangnya tenaga pengawas, hingga isu korupsi yang masih sering mencuat.
Bilik Asmara, Prioritas atau Sekadar Wacana?
Pada akhirnya, perdebatan mengenai bilik asmara di lapas akan terus berlanjut. Pendapat ahli seperti Wimpie Pangkahila menegaskan bahwa secara psikologis, fasilitas ini memang memiliki manfaat. Namun, tanpa regulasi yang jelas dan sistem pengawasan yang ketat, bilik asmara bisa menjadi celah bagi berbagai penyalahgunaan.
Jika memang hak seksual narapidana perlu difasilitasi, maka kebijakan ini harus dirancang dengan matang. Apakah dalam bentuk bilik asmara, atau melalui pendekatan lain yang lebih terkontrol dan tidak menimbulkan polemik baru?
Alih-alih tergesa-gesa menerapkan bilik asmara, pemerintah sebaiknya terlebih dahulu memperbaiki sistem pemasyarakatan yang ada, memastikan bahwa kebutuhan dasar narapidana terpenuhi, dan menciptakan kebijakan yang tidak hanya berpihak pada satu sisi, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan moral dalam masyarakat.
Jadi, apakah bilik asmara memang kebutuhan mendesak yang harus segera direalisasikan, atau justru hanya akan menjadi kontroversi berkepanjangan tanpa solusi konkret?
Posting Komentar