Baru-baru ini Indonesia diguncang gelombang demonstrasi besar yang kemudian berubah menjadi anarkis di sejumlah kota. Buruh, mahasiswa, ojek daring, dan berbagai elemen masyarakat tumpah ruah di jalanan. Bentrokan dengan aparat pecah, gas air mata ditembakkan, dan situasi berubah menjadi kerusuhan yang sulit dikendalikan. Mobilisasi massa semakin meluas ketika satu driver ojol bernama Affan Kurniawan tewas terlindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta. Gambarnya tersebar di media sosial, dijadikan bahan bakar emosi, lalu makin memperbesar gelombang kemarahan.
Beberapa lembaga independen mencatat setidaknya sebelas orang meninggal dunia sepanjang aksi sejak akhir Agustus hingga September 2025. Ratusan lainnya ada yang luka-luka dan ditahan aparat. Jumlah ini bukan angka kecil, bahkan untuk negara demokrasi besar sekalipun. Setiap nyawa yang hilang akan meninggalkan luka panjang, apalagi bila penyebabnya bersentuhan dengan aparat negara.
Pihak Istana kemudian mengeluarkan pernyataan. Mereka menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dijamin undang-undang, tetapi kerusakan fasilitas umum bukanlah kebebasan. Namun yang menarik adalah pernyataan tambahan, bahwa ada peran asing dalam kerusuhan yang berujung anarkis tersebut.
Istana menyebut adanya peran asing yang dalam mobilisasi massa. Kalimat ini memicu banyak tafsir. Sebagian menduga keterlibatan lembaga internasional yang kerap dituding ikut campur dalam politik negara lain. Sebagian lagi mengaitkan dengan nama tokoh oligarki problematis yang disebut-sebut punya jaringan global dan lokal.
Tetapi saya ingin berpikir lebih liar dari tafsir umum itu. Bagaimana jika yang dimaksud asing di sini bukanlah individu atau lembaga dalam pengertian klasik. Bagaimana jika yang disebut asing sebenarnya adalah algoritma media sosial?
Algoritma itu jelas asing, ia lahir dan dikuasai perusahaan teknologi luar negeri. Ada TikTok yang berbasis di China, ada Meta yang menjadi payung Facebook dan Instagram dari Amerika Serikat. Kita tidak pernah benar-benar tahu cara algoritma itu bekerja, tetapi setiap hari hidup kita diarahkan olehnya.
Algoritma pada dasarnya adalah sistem matematis yang dirancang untuk memilih dan menampilkan konten yang sesuai dengan kebiasaan pengguna. Sederhananya, seperti penjual kopi yang hafal pesanan pelanggan. Hanya saja yang ini jauh lebih canggih. Bila seseorang sering menonton video KDM, algoritma akan merekomendasikan lebih banyak video serupa. Bila seseorang membagikan unggahan tentang tragedi Affan, algoritma akan mendorong unggahan sejenis muncul di linimasa orang lain.
Semakin banyak interaksi, semakin algoritma menilai konten itu menarik bagi pengguna secara individu, lalu semakin luaslah penyebarannya. Inilah cara sederhana algoritma bekerja, dengan tujuan membuat orang betah berlama-lama menatap layar.
Namun dari cara kerja sederhana itu timbul dampak besar. Algoritma yang dirancang untuk membuat orang betah ternyata juga bisa membuat orang marah. Orang yang awalnya hanya menonton satu dua video demonstrasi bisa tiba-tiba merasa terlibat secara emosional karena terus diberi konten serupa. Bahkan orang yang sebelumnya tidak berniat turun ke jalan bisa terdorong ikut, sebab media sosialnya penuh dengan konten kemarahan, tagar provokatif, dan narasi ketidakadilan.
Pemerintah pun mengintervensi TikTok, bahkan sempat menonaktifkan sementara fitur siaran langsung di Indonesia. Ini langkah teknis yang terdengar sederhana, tetapi sebenarnya menunjukkan betapa besarnya pengaruh algoritma dalam situasi nyata. Sebuah tombol di kantor pusat perusahaan asing bisa menghentikan salah satu jalur komunikasi massa di jalanan Jakarta.
Maka ketika Istana berbicara tentang peran asing, saya melihat algoritma inilah yang paling nyata. Ia tidak berbendera, tidak berpaspor, tidak sebentuk manusia, tetapi ia bekerja 24 jam dalam sehari. Mengatur apa yang kita lihat, apa yang kita pikirkan, bahkan kadang apa yang kita lakukan.
Kita bisa saja menuduh aktor asing yang sering disebut dalam teori konspirasi, tetapi kenyataannya algoritma yang lahir di luar negeri itulah yang paling konsisten membentuk arah percakapan publik di dalam negeri.
Tiba-tiba saja netizen yang biasanya setiap hari disuguhi konten hiburan sederhana semacam KDM mendapati dirinya dicekoki terus-menerus dengan video provokatif. Algoritma yang disusun oleh perusahaan asing tidak lagi menampilkan tawa receh, melainkan gambar bentrokan, suara jeritan, dan potongan video yang diulang-ulang tanpa henti.
Orang yang awalnya hanya ingin mengisi waktu luang akhirnya terseret ke dalam pusaran emosi kolektif. Tidak ada ruang jeda karena algoritma telah memutuskan bahwa konten kemarahan lebih menjual daripada konten candaan.
Dalam keadaan semacam ini, Istana tidak cukup hanya memanggil satu atau dua perusahaan. Semua pemilik media sosial yang memiliki algoritma harus dipanggil untuk menjelaskan dan sekaligus diberi arahan. Kita sedang berada di era di mana arah bangsa bisa ditentukan oleh apa yang muncul di layar telepon genggam setiap warganya. Ini adalah momentum penting bagi pemerintah untuk menegaskan bahwa algoritma tidak boleh hanya diarahkan demi keuntungan ekonomi praktis, tetapi juga harus diarahkan untuk kepentingan pendidikan, literasi digital, ekonomi kreatif, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa kondisi ekonomi hari ini masih sulit. Banyak keluarga berjuang dengan harga kebutuhan pokok yang naik, pekerjaan yang tidak pasti, dan biaya pendidikan yang makin mahal. Dalam situasi seperti ini, justru algoritma harus diarahkan agar masyarakat mendapatkan pengetahuan yang membangun, bukan sekadar disulut emosinya. Negara memiliki kesempatan besar untuk mengatur ulang arah penggunaan teknologi ini.
Dalam situasi ini ada beberapa hal yang penting. Pertama, kebebasan berpendapat tetap harus dijaga. Namun di era digital, kebebasan itu juga berarti kebebasan yang dipengaruhi oleh sistem algoritma. Kedua, pemerintah perlu jujur bahwa ancaman bukan hanya datang dari manusia di luar negeri, melainkan juga dari sistem digital yang dikendalikan penuh oleh perusahaan asing. Ketiga, masyarakat perlu sadar bahwa apa yang mereka lihat di media sosial bukanlah cerminan utuh realitas, melainkan hasil penyaringan yang bertujuan membuat mereka terus berlama-lama di depan layar. Keempat, perusahaan asing yang mengendalikan algoritma punya tanggung jawab moral untuk mencegah sistem mereka dipakai memperluas kerusuhan.
Namun ada hal yang mengganggu pikiran saya. Bagaimana jika semua itu bukan sekadar kerja otomatis algoritma. Bagaimana jika algoritma media sosial memang sengaja disetel untuk mendorong konten provokatif di tengah gejolak politik dan sosial di Indonesia?
Tentu tidak ada bukti hitam di atas putih yang bisa langsung ditunjukkan. Namun harus disadari bahwa perusahaan pemilik algoritma punya kendali penuh terhadap tombol pengaturan yang bisa saja diarahkan untuk kepentingan tertentu, baik ekonomi maupun politik.
Bila memang ada pengaturan sengaja semacam itu, artinya masyarakat tidak sedang menghadapi ruang digital yang netral, melainkan ruang yang sudah dikondisikan sejak awal. Jika demikian, maka peran asing yang dimaksud pemerintah bisa jadi memang bukan lagi berupa organisasi atau tokoh, melainkan algoritma yang dioperasikan oleh perusahaan global dengan segala kepentingannya.

Posting Komentar